Minggu, 07 Juli 2019

Menjadi Lucu Itu Sulit

"Terima kasih tuhan, saya masih bisa ngetawain presiden dan anak presiden untuk 5 tahun ke depan."

Itulah respons salah seorang netizen atastweet kocak Kaesang Pangareb beberapa waktu lalu. Putra bungsu Presiden Jokowi itu me-retweet foto yang diunggah oleh akun bapaknya yang tengah berpose dengan sejumlah perempuan pemimpin dari negara-negara G20 di sela konferensi di Osaka, akhir Juli lalu. Bunyi caption foto itu: di antara perempuan-perempuan perkasa. Kaesang me-retweet dengan menambahkan: cc: ibu. 

Menjadi orang yang lucu itu tidak gampang. Jumlah orang lucu di dunia ini, jika dikumpulkan, barangkali akan menjadi "kaum minoritas". Tapi, layaknya sebagian "kaum minoritas" lainnya, mereka memberi warna yang berbeda pada dunia dan kehidupan. Orang-orang yang lucu biasanya tampil apa adanya, tidak "jaim", dan mampu menghidupkan suasana di sekitarnya. 

Orang yang lucu, atau bahasa kerennya memiliki "sense of humor" yang tinggi tidak mudah marah, menyikapi hidup dengan santai, cenderung memandang segala sesuatu dengan cara yang positif. Mereka tidak membenci orang lain, tidak menyebar hoaks dan berita bohong, serta tidak mencaci, menghujat, dan berkata kasar. Jika mereka mengkritik, atau mengungkapkan suatu keberatan dan ketidaksetujuan, biasanya disampaikan tidak dengan nada "nyinyir", melainkan dengan satire --sinis, tapi tidak menyinggung, dan tetap mengundang tawa. 

Orang lucu ada di sekitar kita, namun sekali lagi tidak banyak. Dalam satu lingkaran pergaulan misalnya, biasanya hanya ada satu orang lucu, yang menjadi pusat perhatian, membuat kebersamaan menjadi menyenangkan --bahasa iklannya:nggak ada lo nggak rame. Mereka memicu gelak tawa, membahagiakan orang lain, kadang sampai level "pengorbanan" dengan mentertawakan diri mereka sendiri, untuk membuat orang lain mendapatkan semacam "pencerahan" batin. 

Kita pernah memiliki presiden seorang kiai yang sangat lucu. Cerita-cerita lucunya menjadi kisah abadi yang dikenang oleh orang-orang sekitar atau yang pernah berada di dekatnya, dan dikisahkan kembali kepada orang lain, sehingga menjadi "cerita rakyat" yang dikenal luas. Dia adalah Kiai Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Salah satu kelucuannya yang setiap kali diulang tetap membuat orang tertawa adalah "celetukannya" tentang bagaimana dirinya bisa menjadi presiden. 

"Saya menjadi presiden cuma modal dengkul. Itu pun dengkulnya Amien Rais." Bagi yang mengalami zaman itu, atau setidaknya membaca sejarah politik pada masa itu, tentu paham betul apa yang dimaksud Gus Dur tersebut. Orang-orang dengan tingkat kelucuan seperti Gus Dur itu kadang (atau sering) membuat orang lain iri, karena dengan kelucuannya dia mampu mengungkapkan sebuah pemikiran, ide, gagasan, atau pendapat yang sebenarnya sangat kompleks dan serius, dengan cara yang ringan, menghibur, dan membuat orang tertawa.

Jika ia seorang penulis, orang yang lucu akan menjadi penulis yang jempolan. Lagi-lagi tidak banyak, tapi kita punya Mahbub Djunaidi dan Emha Ainun Nadjib, penulis yang sangat lucu. Gus Dur sendiri juga pernah aktif menulis di media massa, tapi tulisan-tulisannya memang tidak selucu ketika dia berkisah secara langsung. Emha Ainun Nadjib bicara di forum-forum pengajian dan pidato-pidato sama lucunya dengan tulisan-tulisannya. Sedangkan Mahbub Djunaidi, dari kisah-kisah yang dituturkan oleh orang-orang yang mengenalnya, dalam keseharian juga selucu tulisan-tulisannya. 

Di era belakangan, kita mengenal orang-orang yang lucu dalam menulis dan berbicara lewat sosok-sosok seperti Raditya Dika dan Ernest Prakasa. Mereka adalah para penulis lucu yang pilih tanding, sekaligus juga para "comic", stand up comedian", yang digemari jutaan anak muda, dan menginspirasi lahirnya generasi baru orang-orang lucu. Lebih belakangan lagi, keduanya terjun ke dunia film, menjadi sutradara dan aktor, dan melahirkan film-film yang juga lucu dan sangat menghibur. 

Yang barangkali jarang terpikirkan adalah bahwa humor, kelucuan, dan orang-orang yang lucu tidak hanya dibutuhkan sebagai hiburan. Dalam membangun dan mengelola negara yang demokratis, sosok, sikap, dan sifat seperti itu juga diperlukan. Lagi-lagi zaman sudah membuktikan. Gus Dur yang lucu itu adalah sosok penganjur dan pejuang demokrasi sejak awalnya --bersama-sama sejumlah tokoh lainnya ia membentuk Forum Demokrasi yang kritis pada pemerintahan otoriter Soeharto yang kala itu sedang kuat-kuatnya dan jaya-jayanya.

Demokrasi tidak bisa diwujudkan tanpa orang-orang yang lucu. Selama 32 tahun era Orde Baru dulu, negara ini dipimpin oleh seorang presiden, seorang jenderal yang selalu tersenyum dan terlihat hangat-kebapakan --sampai-sampai dijuluki "the smiling general". Tapi, ia sama sekali bukan orang yang lucu, sebaliknya ia memimpin dengan membungkam suara rakyat, memberangus kebebasan warga, dan menangkapi orang-orang yang mengkritiknya. 

Jokowi dan keluarganya, terutama putra-putranya adalah orang-orang yang lucu. Ini bisa kita saksikan langsung dari interaksi mereka di media sosial yang begitu terbuka, apa adanya --mereka bisa saling ledek seolah-olah sedang "bermusuhan". Itulah lucu gaya Jawa-Solo. Kaesang misalnya, mencitrakan diri sebagai "anak yang tidak diakui". Dan, hubungannya dengan Gibran, kakaknya, seolah-olah tidak pernah rukun. Ketika sang kakak mempromosikan bisnisnya misalnya, Kaesang akan menyahut: Ini punyanya Mas Gibran? Emoh!

Ungkapan netizen di atas, yang diformulasikan dalam kalimat sederhana, mensyukuri keadaan di mana dirinya masih bisa menertawakan presiden dan anak presiden untuk lima tahun ke depan, sebenarnya menggambarkan politik kita saat ini, dan akan seperti apa negeri ini dikelola ke depannya. "Ngetawain presiden dan anak presiden" adalah aspek yang barangkali selama ini luput dari analisis para pengamat dan pakar politik, ketika membicarakan tentang demokrasi. 

Untuk membangun demokrasi, kita perlu banyak tertawa, tapi bukan menghina, apalagi mengulang-ulang hinaan yang itu-itu saja, misalnya tentang logat bahasa Inggris presiden. Tentu saja, dengan menampilkan diri sebagai sosok-sosok yang lucu, Presiden Jokowi dan keluarganya tidak serta merta lantas "kebal" kritik. Namun, dalam masyarakat yang berlimpah kebebasan seperti sekarang ini, membedakan antara kritik dan hinaan kerap menjadi tantangan yang berat. 

Kita memang patut bersyukur, bahwa dalam gempuran berbagai hinaan, ujaran kebencian, berita bohong, bahkan fitnah yang tak pernah putus, putra-putra presiden Jokowi tidak pernah kehabisan kesabaran, dan kehilangan "sense of humor" mereka. Mereka tetap melucu, saling ledek, kadang menertawakan diri mereka sendiri. Demokrasi memang memerlukan pengorbanan dan harga yang mahal, dan mereka telah memenuhi dan membayarnya dengan merelakan diri menjadi objek tertawaan.

Jumat, 24 Februari 2017

Islam Bukan (Hanya) Arab


"Haji Cim, hurry up! Why are you late, my brother?" lelaki berkulit legam itu menyapa saya.
Namanya Abdy, Abdurrahman Masoud lengkapnya, asalnya dari Jibouti, Afrika. Awalnya Abdy tak tahu saya muslim. Begitu tahu, dia langsung tampak lebih ramah, dan mengubah caranya memanggil saya. Soal "Haji Cim", tentu ia cuma bercanda. Tapi Abdy tak lagi memanggil saya dengan "mate" sebagaimana lazimnya cara Australia. Dia kemudian memanggil saya dengan "my brother".

Sebelum kenal Abdy, saya pernah berjumpa dengan banyak muslim dari berbagai negara. Saya ingat-ingat, ternyata kebanyakan mereka saling menyapa dengan panggilan "brother". Begitu pula para khatib di Universitas New South Wales tempat saya rutin jumatan, dalam khotbah mereka pun selalu muncul sebutan bagi jamaah: "Brother and sister in Islam..."

Pada waktu lain, dalam sebuah penerbangan, saya duduk bersebelahan dengan seorang lelaki Arab Saudi. Ketika kami bicara bahasa Inggris, dan dia tahu bahwa saya muslim, segera kalimat-kalimatnya berlimpah dengan ucapan "masya Allah". Anehnya, dia menyebut saya dengan "you" saja. Misalnya saat bertanya, "So which part of Indonesia do you live?"

Aneh, kan? Iya, lah. Ini memang aneh. Kenapa dia tidak memakai "antum" untuk kata ganti orang kedua? Kenapa cuma "you"? Bukannya kami sesama muslim? Juga Abdy dan teman-teman muslim yang lain, kenapa mereka memanggil saya dengan "brother" dan bukan "akhi"? Padahal di Indonesia, oleh sesama muslim Indonesia, berkali-kali saya malah dipanggil dengan antum dan akhi.

Dari situ lantas muncul tanda tanya di kepala saya. Benarkah umat Islam Indonesia lebih Islam dibanding muslim di negara-negara lain? Atau... umat Islam Indonesia lebih Arab dibanding orang Arab sekalipun?

Debat kusir tentang kaitan Arab dan Islam ini masih sering muncul di mana-mana. Banyak muslim merasa lebih afdhol memakai apa-apa yang berbau Arab, mulai pakaian hingga ucapan, agar lebih kental keislamannya. Di sisi seberangnya, banyak orang tak sepakat jika Islam harus diartikan dengan apa-apa yang berbau Arab. Islam itu universal, universalitas Islam justru akan hilang jika di mana-mana muslim harus diarabkan, dan sebagai muslim Indonesia kita harus tampil dengan ciri budaya Indonesia. Begitu pendapat mereka.

Perdebatan semacam ini sering memanas, karena lantas lari ke mana-mana. Yang tidak suka dengan budaya Arab dibilang membenci kebiasaan Nabi Muhammad. Yang suka dengan yang Arab-Arab dibilang ingin mengarabkan Indonesia.

Problem identitas beginian semestinya disikapi dengan memahami dulu duduk perkaranya. Kalau kurang cermat, yang akan muncul adalah generalisasi, sikap gebyah uyah yang bikin segalanya kian rumit dan berakhir menjadi konflik.

Generalisasi tersebut banyak bentuknya. Yang cukup sering terjadi, ketika orang bicara tentang Arab, acapkali tak dibedakan dulu antara Arab sebagai entitas budaya, Arab sebagai entitas etnis, dan Arab sebagai entitas politik-administratif alias negara Arab Saudi.

Modus begini lazim terjadi, tak bedanya dengan sering cerobohnya kita dalam membedakan antara Yahudi sebagai etnis atau salah satu cabang dari kelompok ras Semit (Jews), Yahudi sebagai agama (Judaism), dan Yahudi sebagai orang yang memeluk agama Yahudi (Jewish). Atau yang belakangan lebih sering muncul di tengah kita adalah gagalnya orang membedakan antara China sebagai negara, dan China sebagai etnis. Akibatnya, sebagai contoh, perayaan Tahun Baru Imlek yang meriah oleh warga keturunan Tionghoa ikut tertuding sebagai tanda berkuasanya negara Tiongkok alias RRC atas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oke, kita kembali ke Arab. Kegagalan dalam membaca "Arab" dalam sebuah konteks wacana membuat sebagian orang tertentu meletakkan budaya Arab dan Kerajaan Arab Saudi dalam posisi yang sama dan saling menggantikan. Ini kacau. Mengecam Kerajaan Arab Saudi, misalnya, serta-merta dianggap sama dan sebangun dengan menghina budaya dan tradisi bangsa Arab. Lebih dahsyat lagi, kritik atas Kerajaan Saudi dicegat dengan slogan asal-asalan: "Hoi, kenapa membenci Arab?? Jangan lupa Nabi Muhammad adalah orang Arab!"

Padahal, kerajaan ya kerajaan, itu rezim politik. Kalau budaya ya budaya. Mau rezim politiknya runtuh, budayanya tak akan terpengaruh.
Harap diingat, Kerajaan Saudi baru berdiri pada tahun 1932. Itu satu milenium lebih tiga abad setelah wafatnya Nabi Muhammad. Lha trus apa urusannya Nabi dengan Dinasti Saud? Nabi memang lahir dan besar dalam tradisi Arab. Tapi jangan sampai kita menganggap bahwa Nabi Muhammad adalah warga negara pemegang paspor Arab Saudi.

Dengan pemahaman konteks semacam itu, semestinya kita tak perlu sensi kalau ada yang mengatakan bahwa panggilan antum dan akhi, bukan merupakan cermin kuatnya ghiroh keislaman. Ia semata-mata ekspresi budaya yang kearab-araban.

Islam mengajarkan agar sesama muslim merasa bersaudara, dan memanggil dengan panggilan yang baik. Itulah nilai islami itu. Maka panggilan "brother" pun sangat islami, karena sesuai dengan spirit ajaran Nabi agar sesama muslim bersaudara. Adapun mengucap antum dan akhi saat bicara bahasa Indonesia, saya tak tahu itu islaminya di mana. Bahkan saya juga tak tahu itu budaya Arab atau bukan, lha wong orang Arab sendiri tidak melakukannya saat mereka bicara bahasa non-Arab.

Berangkat dari situ, muncul pertanyaan lanjutan: Apakah sebagai orang Indonesia artinya kita mesti bersikap menolak budaya Arab? Lalu menyebut mereka para pengucap antum dan akhi itu sebagai "laskar onta"?

Begini. Harus dipahami, Arab sebagai budaya tak lebih dari salah satu entitas kultural warga dunia. Jika kita mengejek dan merendahkan budaya Arab, maka kita sama saja dengan siapa pun yang menista budaya Cina, India, Sunda, Bali, Batak, Bugis, Buton atau budaya mana pun. Sementara, yang namanya budaya itu bersifat dinamis, adaptif, lentur, bahkan cair. Ia bisa merembes ke mana-mana, tercampur dengan elemen lain, mengendap tanpa sadar, masuk menembus pori-pori sekat primordial. Maka, tidak ada di dunia ini budaya yang benar-benar murni.

Dilihat dari fakta sejarahnya, Nusantara pun dibentuk oleh ribuan entitas kultural, di mana budaya Arab (dan juga Cina) merupakan salah satu kontributor pentingnya. Coba sekarang periksa saja, mulai kata pertama di tulisan ini, sampai di titik terakhir Anda membaca yaitu di... sini. Ada berapa kata bahasa Indonesia yang jelas merupakan serapan dari bahasa Arab.

Lebih dari itu, ketika kita alergi kepada budaya Arab seolah kita ingin tampil murni berkarakter Nusantara, kita malah lupa bahwa diri kita sehari-hari sebenarnya adalah cerminan berkuasanya budaya Eropa. Kalau tidak percaya, cobalah berdiri di depan kaca, dan lihat baik-baik pakaian Anda semua. Anda pakai kemeja, kaos oblong, celana jins, atau setelan jas. Apa Anda yakin itu kostum asli Nusantara, yang dulu dipakai Hayam Wuruk atau Balaputradewa Raja Sriwijaya?

Memang, di zaman ini, memakai kostum "normal" semacam yang kita pakai sehari-hari seolah merupakan tuntutan zaman. Ia sekaligus menjadi syarat kemudahan dalam kehidupan sosial. Pada satu sisi memang benar bahwa itu normal, karena normal dan tak normal toh sebenarnya cuma perkara mayoritas dan minoritas. Ketika mayoritas orang di sekitar kita memakai pakaian demikian, maka kita jadi merasa normal saat mengikutinya.

Tapi begini. Kita kerap lupa menyadari, bahwa pakaian ala Eropa yang kita kenakan sekarang pun menjadi bagian dari normalitas sosial di Indonesia bukan tanpa sejarah panjang hegemoni budaya. Semua itu jadi lazim ya karena pembaratan alias westernisasi, sedangkan proses pembaratan berjalan karena kolonialisme.

Untuk memahami logika soal itu, paling enak jika kita pahami dulu produk budaya berupa bahasa. Sebuah bahasa menjadi bahasa dunia bukan karena bahasanya yang hebat, bukan pula karena populasi penuturnya yang banyak, melainkan karena bahasa tersebut digunakan oleh pemegang kuasa.

Bahasa Latin, contohnya, pada masanya pernah menjadi bahasa global. Padahal, penutur aslinya cuma sebagian kecil saja dari keseluruhan warga negara Kekaisaran Romawi, negara adikuasa pada zaman itu. Tapi bagaimana mau dilawan, wong administratur di Kekaisaran Romawi, tentara-tentaranya, dan belakangan juga Gereja Katolik Roma, semua memakai bahasa Latin. Bahasa Latin pun berjaya. Karena apa? Karena penuturnya berkuasa.

Demikian pula bahasa Inggris. Jauhkan pikiran bahwa bahasa Inggris sudah dari sononya diturunkan Tuhan sebagai bahasa internasional. Bahasa Inggris menyebar dan mengglobal karena dibawa kolonial Inggris yang merajalela berkuasa di mana-mana, bersama kekuatan militer maupun kekuatan ekonomi hasil Revolusi Industri. Usai berkuasa, mereka meninggalkan sistem pemerintahan, sistem peradilan, sistem pendidikan, yang kesemuanya dijalankan dengan bahasa Inggris.

Bahasa Inggris semakin jaya ketika Sekutu Inggris-Amerika keluar sebagai juara Perang Dunia II, dan lambat-laun disusul oleh keberhasilan supremasi ekonomi dan budaya Amerika Serikat. Walhasil, bahasa satu itu pun menguasai dunia lewat musik, film, buku-buku, media massa, dan sebagainya.

Seperti itulah. Jadi, ketika teman di sebelah Anda ngobrol sambil menyelipkan "which is" di sela-sela kalimatnya, atau ketika seorang politisi melumuri pidatonya dengan istilah-istilah bahasa Inggris sampai perut kita kekenyangan dibuatnya, atau ketika Anda merasa keren saat menulis status Facebook dengan bahasa Inggris alih-alih bahasa Indonesia, jangan dikira itu karena tujuan praktis semata. Itu adalah etalase paling luar dari kekalahan kita.

Akhirulkalam, tidak perlu tegang-tegang memikirkan cara kita dan orang-orang di sekitar kita dalam berekspresi dengan produk-produk budaya. Entah dia kearab-araban, kecina-cinaan atau kebarat-baratan. Kita tidak perlu mengklaim saya lebih islami hanya karena saya berjubah atau menyebut "antum" untuk Anda.

Senin, 29 Februari 2016

Survei Opini Publik dan Panggung (Pencitraan) Politik

"How do politicians use polls? You might as well ask how politicians use air” (Michael Barone, 1997)

Pengaruh opini publik adalah niscaya dalam demokrasi. Opini publik dapat memberikan gambaran secara umum apa yang dikehendaki masyarakat. Dengan memperhatikan opini publik, para pengambil kebijakan, para politisi, melakukan tugasnya untuk mengutamakan kepentingan masyarakat umum.

Survei opini publik adalah salah satu cara tercepat, relatif murah, namun akurat untuk mengetahui kecenderungan pendapat publik. Banyaknya isu-isu kebijakan publik juga mengharuskan para pengambil kebijakan untuk mengikuti pendapat publik secara terus-menerus. Survei opini publik memungkinkan tersedianya informasi tersebut bagi para pengambil kebijakan dan politisi.

Tidak berlebihan kalau Michael Barone, seorang pelaku survei opini publik terkenal di Amerika Serikat, mengatakan bahwa polling atau survei opini publik adalah udara bagi para politisi untuk bernafas, seperti kutipan di awal tulisan ini. Di era politik modern sekarang, semua politisi menggunakan hasil survei opini publik untuk mendukung berbagai tindakan politik dan/atau kebijakan publik yang mereka ambil.

Survei memberi para pemimpin politik modal dalam upaya mereka mempromosikan kebijakan. Sebaliknya survei juga dapat menjadi masalah dan hambatan bagi para politisi dalam menjalankan agenda-agenda yang mereka perjuangkan. Pemimpin yang dapat mendukung pernyataan-pernyataan mereka dengan survei lebih mudah melaju dibanding yang tidak. Pemberitaan media massa atas inisiatif kebijakan yang populer juga berbeda dengan kebijakan yang kurang memperoleh dukungan publik.

Di Amerika Serikat, melalui survei, masyarakat atau publik adalah pemain penting dalam masalah-masalah nasional, terutama dalam tiga dasawarsa terakhir. Demikian pula dengan Inggris dan negara-negara demokrasi mapan lainnya. Hampir tidak mungkin menemukan inisiatif kebijakan nasional di mana survei opini publik tidak menjadi bagian penting. Di dalam buku The Politics of News (1998), Kathleen Frankovich menulis: “polling kini makin penting dan dibutuhkan dalam pembuatan dan penyajian berita, sampai-sampai signifkansinya mengaburkan fakta atau fenomena yang seharusnya diukur.”

Sejumlah peristiwa politik penting dan besar terkait langsung dengan survei atau polling. Andrew Kohut (2009), Presiden Pew Research Center, lembaga polling dan survei terkenal di Amerika, memberikan ilustrasi sejumlah peristiwa politik berikut untuk menggambarkan pentingnya kaitan antara survei opini publik dan politik.

Pertama, dalam masa kepresidenan Ronald Reagan, salah satu tantangan besarnya adalah menghadapi gerakan kiri di Nikaragua. Dengan tingkat penerimaan masyarakat (approval rating) 63% di tahun 1986, Reagan adalah presiden yang sangat populer dan mudah mendapat dukungan publik dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Namun, kasus perang Vietnam di era 1970-an rupanya masih membekaskan trauma. Kebijakan garis keras Reagan terhadap Nikaragua tidak mendapat dukungan publik. Survei menunjukkan hanya 34% masyarakat mendukung kebijakan tersebut. Karena menghitung penolakan masyarakat ini, Reagan merencanakan dan menjalankan kebijakannya secara rahasia. Belakangan, ketika masalah ini muncul ke publik, Reagan malah ditimpa masalah Iran-kontra yang terkenal itu. Skandal Iran-kontra ini hampir saja menghancurkan kepresidenan Ronald Reagan.

Kasus kedua, ketika Saddam Hussein menduduki Kuwait di bulan Agustus 1990, Presiden George HW Bush bermaksud menggunakan kekuatan militer untuk melindungi Kuwait dan kepentingan Amerika di kawasan. Namun pendapat publik terbelah antara yang mendukung dan menolak. Hanya 48% publik yang setuju dengan kebijakan tersebut. Sang Presiden memutuskan untuk menaikkan dukungan publik terlebih dahulu. Ia berusaha keras memperoleh dukungan Dewan Keamanan PBB agar membuat resolusi yang mengultimatum Irak dengan deadline penarikan pasukan. Ia juga mengusahakan dukungan Kongres Amerika Serikat untuk penggunaan kekuatan militer atas pendudukan Irak di Kuwait. Upaya-upaya ini terus memperoleh pemberitaan yang luas dari media masa. Pada saat yang sama, lembaga-lembaga survei seperti Gallup/USA Today dan ABC/Washington Post melakukan penelusuran (tracking) perubahan pendapat publik. Hasilnya menunjukkan adanya transformasi pendapat publik dari 48% dukungan pada awal Januari 1991 menjadi 58% dukungan di pertengahan Januari 1991. Dengan tingkat dukungan publik yang mayoritas  ini, Bush dengan percaya diri menggunakan kekuatan militer untuk mengusir Saddam Hussein dari Kuwait.

Upaya pemakzulan Bill Clinton dari kepresidenan Amerika adalah contoh lain pentingnya opini publik. Menurut survei Pew Research Center, pada pertengahan Januari 1998, tingkatapproval rating Presiden Clinton adalah 61%. Skandal seks sang presiden dengan Monica Lewinsky kemudian mengemuka dan mendapat pemberitaan besar-besaran. Dua minggu kemudian, alih-alih menurun, tingkat penerimaan publik atas kinerja presiden justru naik menjadi 71%. Para analis menyatakan bahwa hal ini menunjukkan kemarahan publik atas penilaian sepihak Kongres dan media massa terhadap skandal Bill Clinton. Menyadari dukungan publik yang tinggi, media massa dan Kongres, terutama para politisi dan komentator politik kubu Demokrat, ramai-ramai kembali menjadi pendukung sang presiden. Hasilnya seperti yang kita tahu, pemakzulan Bill Clinton tak mendapat dukungan suara yang cukup di Kongress. Sang presiden diselamatkan oleh opini publik yang diperoleh melalui proses survei.

Ada banyak peristiwa besar lain yang dapat menunjukkan betapa terkaitnya survei dengan peristiwa-peristiwa politik. Kesadaran para politisi dan masyarakat atas pentingnya survei opini publik sudah ada sejak lama. Necker, seorang menteri keuangan Perancis di era 1780-an menyatakan: “Hanya orang bodoh, teoritikus murni, atau amatir, yang tidak mampu melihat pentingnya opini publik dan mengambilnya sebagai bahan pertimbangan” (Baines, P.; Worcester, R. and Mortimore, R. 2007). Hal ini ditopang oleh kecenderungan media massa untuk terus menerus memberitakan hasil-hasil survei opini publik. Gambar berikut dapat menggambarkan betapa survei opini publik makin mendapat tempat yang penting dalam media massa (Kohut, 2009).      

Kredibilitas

Adakah kriteria agar survei memiliki pengaruh terhadap panggung politik? Kriteria paling pokok adalah kemampuannya memotret secara akurat opini publik. Apa yang dihasilkan survei sebagai opini publik dapat mewakili keadaan publik yang sesungguhnya. Dengan kata lain, soal kredibilitas adalah soal yang penting dan pokok. Hanya survei yang kredibel yang akan terpakai oleh para pengambil kebijakan dan politisi.

Survei opini publik yang dimaksudkan sebagai konsumsi publik haruslah bersifat obyektif dan netral.  Secara teoritis, menurut Worcester (1981), peranan polling, survei, dan taksiran atas pendapat publik bukanlah mengadvokasi kebijakan atau tema atau subyek tertentu. Survei adalah penyedia informasi obyektif sekaligus subyektif yang diperoleh secara sistematis dan obyektif pula, dianalisa dengan kepala dingin, serta disampaikan kepada publik secara merata.

Maka, apabila dilaksanakan secara benar (proper), survei atau polling pendapat publik adalah komponen fundamental bagi demokrasi (Baines, et. al., 2007). Survei memungkinkan para pengambil kebijakan mengetahui apa yang sedang berkembang dan dikehendaki masyarakat. Ini memungkinkan kebijakan yang diambil memiliki sasaran yang tepat dengan dampak yang efektif.

Survei yang benar pertama-tama harus menggunakan sampel yang secara saintifik representatif. Artinya, pihak-pihak yang dijadikan responden survei harus dapat menggambarkan atau mewakili kenyataan dari seluruh populasi. Kalau misalnya populasi terdiri atas 50% perempuan dan 50% laki-laki, maka sampel juga harus terdiri atas 50% perempuan dan 50% laki-laki. Demikian juga dengan aspek lain seperti kelas sosial ekonomi, agama, usia, dan seterusnya. Sampel yang tidak representatif mengakibatkan kesimpulan yang tidak dapat diterapkan ke seluruh populasi. Juga, sampel yang tidak representatif sangat potensial menimbulkan bias atas kesimpulan yang diperoleh.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam survei juga memegang peranan penting. Makna pertanyaan tidak boleh ganda atau ambigu. Responden haruslah memaknai pertanyaan sama dengan yang dimaknai penanya. Pertanyaan juga harus menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Pertanyaan juga tidak boleh bersifat tendensius sehingga mengarahkan jawaban responden kepada arah tertentu. Seringkali survei juga harus mempertimbangkan aspek kultural. Dalam masyarakat tertentu, terutama di negara berkembang, ada banyak pertanyaan yang secara kultural tidak tepat. Bila tetap ditanyakan, kemungkinan akan mendapat penolakan dari responden.

Isu atau topik yang ditanyakan kepada masyarakat haruslah isu yang memang berkaitan dengan publik.  Isu-isu mengenai ekonomi seperti pekerjaan, kesehatan, pendidikan, kinerja presiden dan pemerintah, kinerja lembaga-lembaga pemerintahan, pemilihan umum dan lain-lain adalah isu-isu yang penting bagi publik, baik secara normatif maupun secara praktis. Survei yang mengangkat masalah-masalah tersebut tidak saja akan mendapat sambutan dari publik tapi juga dapat memberikan masukan berharga bagi para pembuat kebijakan dan politisi.

Kredibilitas survei juga biasanya tampil dalam bentuk keakuratannya dalam memprediksi hasil-hasil pemilu. Baik di Amerika maupun Eropa, survei opini publik telah terbukti selama ini memiliki tingkat keakuratan yang sangat tinggi. Tingkat kesalahan atau deviasi yang terjadi biasanya hanya berkisar di angka 1-2 persen. Tingkat akurasi inilah yang antara lain memberikan kredibilitas dan nama besar kepada lembaga survei seperti Gallup di Amerika Serikat. Data berikut menunjukkan tingkat akurasi Gallup dalam memprediksi hasil pemilu presiden Amerika Serikat (Sabato and O’Connor, 2000).

Data di grafik tersebut menunjukkan bahwa Gallup secara konsisten menunjukkan tingkat akurasi yang hampir identik dengan hasil pemilu presiden yang sebenarnya. Dalam Pemilu Presiden Amerika tahun 2000, 2004, dan 2008, prediksi survei Gallup tetap akurat dengan tingkat kesalahan di kisaran 1-2 persen. Salah satu kekuatan Gallup adalah pada model (representasi dari karakteristik pemilih, di dalamnya sampel menjadi komponen terpenting) yang mampu menggambarkan secara akurat karakteristik pemilih yang sebenarnya.

Namun, dalam tahun 2012, Gallup salah memprediksi hasil pemilu presiden. Gallup memperkirakan Romney memenangi popular vote 50% berbanding 49% untuk Obama. Hasil sebenarnya adalah 51% untuk Obama dan 47% untuk Romney. Kesalahan ini sebetulnya masih bisa difahami karena memang pertarungan kedua kandidat sangat ketat. Selain itu, tingkat kesalahan itu secara statistik masih berada dalam margin of error (+/- 3%). Sekalipun demikian, Gallup tetap melakukan analisis menyeluruh atas metode dan model survei mereka untuk menemukan di mana sebenarnya problemnya sehingga prediksi mereka memiliki akurasi yang agak melenceng.

Survei juga memiliki kredibilitas yang tinggi di negara-negara Eropa. Di Inggris misalnya, data menunjukkan bahwa kemampuan untuk memprediksi hasil pemilu cukup tinggi dengan tingkat kesalahan rata-rata juga 1-2 persen saja. Data dari Baines (et. al) berikut menunjukkan rekam jejak survei di Inggris.

Accuracy of the Polls 1945-2005

Seperti terlihat dalam data di atas, tingkat kesalahan untuk besaran suara yang diperoleh partai-partai dalam pemilu ada di kisaran 1-2 persen. Suatu tingkat akurasi yang sebenarnya sangat tinggi.

Bagaimana dengan di Indonesia? Meski survei politik masih tergolong fenomena baru dalam satu dekade terakhir, lembaga-lembaga survei yang kredibel di Indonesia, seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI), telah menunjukkan kemampuan dalam memperkirakan hasil-hasil pemilu yang cukup akurat. Survei-survei LSI sepanjang 2004-2009 misalnya, mampu menunjukkan dengan tepat tren naiknya suara Partai Demokrat dan posisi perolehan suara partai-partai peserta pemilu. Hal yang sama juga terjadi untuk pemilu presiden dan wakil presiden. Data berikut adalah contoh kemampuan LSI dalam memprediksi hasil pemilu legislatif.

Tanggapan Publik

Bagaimanapun baiknya survei, untuk mempengaruhi publik, survei harus mendapatkan tanggapan dari publik itu sendiri, terutama dari para pengambil keputusan dan politisi. Umumnya, seperti ditunjukkan dalam sejumlah kasus di atas, para pengambil kebijakan dan politisi akan bereaksi menanggapi hasil survei yang dianggap kredibel. Artinya, hasil survei dijadikan masukan bahkan pijakan dalam mempromosikan kebijakan ataupun melawan tren politik tertentu. Dengan kata lain publik memberikan reaksi positif atas hasil survei yang kredibel.

Namun, survei tidak selalu dijadikan sebagai bahan masukan oleh pengambil kebijakan atau politisi atau kelompok yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Ada kelompok berpengaruh dalam masyarakat yang dengan kekuatan yang dimilikinya dapat mengabaikan apapun hasil survei.

Contoh paling nyata adalah kelompok National Rifle Association (NRA) di Amerika Serikat. Kelompok ini mengusung isu hak kepemilikan senjata. Didukung oleh para pengusaha pembuat/pabrik senjata, kelompok ini sangat berpengaruh dalam pembuatan undang-undang maupun kebijakan pemerintah terkait dengan kepemilikan senjata api di Amerika Serikat.

Sejak lama, berbagai survei opini publik di Amerika dengan gamblang menunjukkan keinginan mayoritas masyarakat akan adanya aturan yang lebih ketat atas kepemilikan senjata api. Kasus penembakan sejumlah murid Sekolah Dasar di Newton, Connecticut baru-baru ini menambah daftar panjang korban senjata api. Opini publik juga makin mendukung pengetatan pengaturan senjata api. Namun kekuatan opini publik ini bukanlah tandingan kekuatan lobi NRA. Organisasi ini dapat memobilisasi dukungan suara di Kongres melalui anggota-anggota DPR dan Senat yang telah mereka bantu dalam proses pencalonan mereka. Hasilnya, aturan pengetatan kepemilikan senjata api selalu terganjal di Kongres (legislatif).

Secara umum, kelompok kepentingan bisnis, atau yang menguasai sumber-sumber keuangan biasanya memiliki kemampuan untuk mengabaikan opini publik. Yang mereka lakukan adalah melobi para pengambil kebijakan terutama di legislatif. Oposisi publik terhadap perdagangan bebas misalnya, selalu terganjal lobi-lobi efektif dari para pengusaha dan pemilik modal. Sementara kelompok lain seperti kelompok buruh, meski didukung oleh opini publik, lebih sering mengalami kekalahan akibat kekuatan lobi yang dimiliki kelompok pengontrol sumber-sumber keuangan. Alhasil, survei opini publik, dalam konteks ini dapat saja menjadi terabaikan.

Survei dan Manipulasi

Tentu ada banyak pihak yang melakukan survei bukan untuk memberi informasi atau mengedukasi publik. Ada banyak survei yang dilakukan secara bias. Survei seperti ini biasanya dirancang sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat mendukung suatu kepentingan atau suatu kebijakan. Dalam survei pra-pemilu, survei juga sering dimanipulasi untuk menaikkan citra kandidat seolah-olah posisinya lebih tinggi dari kandidat lain padahal kenyataannya tidak.

Banyak cara bisa dilakukan untuk menghasilkan survei yang manipulatif. Biasanya yang dimainkan adalah sampel (sampel yang tidak representatif), jenis pertanyaan dan cara bertanya, metode wawancara (melalui telpon atau langsung), dan sebagainya. Pihak-pihak yang berkepentingan selanjutnya akan menggunakan hasil-hasil survei seperti ini sebagai pijakan. Kesannya mereka memiliki data pendukung yang valid yang berbasis kepentingan atau suara publik.

Cara terbaik untuk menilai apakah sebuah survei abal-abal atau tidak adalah dengan melakukan audit atas metodologinya. Apakah sampel yang diambil memang representatif? Apakah pertanyaan yang diajukan juga valid, tidak bermakna ganda? Apakah pertanyaan itu disusun secara tendensius untuk menggiring jawaban responden? Apakah pengambil data di lapangan benar-benar pergi menemui dan menanyai responden? Apakah kerangka analisis untuk menafsirkan hasil survei sudah tepat dan benar? Ringkasnya, ada banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan secara metodologis untuk menguji apakah sebuah survei bersifat manipulatif atau tidak.

Namun, hanya para ahli survei dan statistik yang bisa melakukan audit metodologis terhadap survei. Bagaimana dengan publik yang tidak memiliki cukup keahlianuntuk melakukannya? Bila demikian, nasehat dari Sabato dan O’Connor (2000) dapat dipakai oleh publik. Pertama, jangan percayai survei yang tidak mengumumkan atau memberitahu tiga hal: bentuk dan pilihan kata dalam pertanyaan survei, cara penarikan sampel, dan bagaimana para responden dihubungi atau ditanyai. Kedua, lembaga survei yang kredibel selalu memberitahu berapa jumlah responden mereka (besaran N) dan berapa tingkat kesalahan statistiknya (margin of error). Bila hal-hal ini tidak disampaikan atau terkesan disembunyikan oleh lembaga survei, sebaiknya jangan percayai saja hasilnya.

Minggu, 31 Januari 2016

Infotainment Bernama Window Transfer

Tidak ada keraguan bahwa normalnya kita semua ini senang bergunjing dan membicarakan orang lain. Maka dari itu, acara gosip, atau halusnya adalah “infotainment“, di Indonesia tidak ada yang tidak laku ditonton. Padahal semuanya gosip, bukan fakta.

Tidak bisa dimungkiri juga bahwa setiap awal musim, jendela transfer selalu jadi bagian paling menarik dari seluruh berita tentang sepakbola. Awal tahun 2016 ini, setelah Tahun Baru, liga-liga di Eropa sedang membuka kembali jendela transfernya.

Di sini lah hadir persinggungan antara sepakbola dengan acara gosip.

Apakah Anda tertarik membaca berita transfer? Jika Anda bilang “tidak tertarik”, Anda adalah salah satu manusia langka di planet bumi ini.

Mungkin itu wajar. Dalam liga, di manapun liganya, di mana keserakahan seolah menjadi kebajikan, maka tebal dompet adalah faktor yang paling relevan untuk menentukan kesebelasan tertentu akan mengakhiri kompetisi di peringkat berapa.

Untuk mengawalinya, ambil saja salah satu contoh mencolok di Liga Prancis di suatu musim panas di tahun 2011. Paris Saint-Germain yang (tadinya) bukan merupakan kesebelasan bertradisi juara, yang seumur-umur baru dua kali meraih gelar juara Ligue 1, tiba-tiba kedatangan raja minyak dari Qatar. Uang sejumlah 87 juta euro digelontorkan untuk membeli pemain.

Lihat di mana posisi mereka sekarang? Tiga musim berturut-turut mereka jadi kampiun.

Di Prancis, mereka adalah juara. Di dunia, jumlah fans mereka dilaporkan naik tiga kali lipat sejak 2011. Di Indonesia, sekarang kita sudah melihat banyak seragam PSG (baik orisinal ataupun KW) dijual di lapak-lapak dan dipakai banyak orang yang, jika kita tanya siapa pemain PSG di tahun 2000, mungkin mereka tidak bisa menyebut satu saja.

Kemudian nanti tibalah hari tenggat waktu atau deadline transfer yang tampak menjadi puncak dari semua drama ini.

Ya, mau tidak mau, patut diakui bahwa hampir seluruh liga sepakbola di dunia telah menjadi tempat di mana solusi untuk semua masalah adalah membeli lebih banyak pemain (bagus).

Semua orang memang suka rumor transfer, menemukan diri mereka terpaku pada layar komputer, laptop, telepon genggam, gadget mereka, koran, televisi, dan lain-lain, berusaha mendapatkan berita terbaru, meskipun hanya sebuah gosip tidak jelas.

Pada waktu-waktu khusus dan khusyuk, terutama tadi, yaitu di deadline transfer, Twitter sudah biasa untuk kebanjiran refresh dengan harapan kesebelasan yang mereka bela mendatangkan pemain baru. Sehingga kuota internet kita pun akan tersedot dengan cepat.

Bisa dibilang, mungkin bursa transfer adalah penipuan terbesar di mana hampir semua pihak di sepakbola terlibat. Mungkin saja, sih, sebagian besar pemain tidak benar-benar berbeda satu sama lainnya.

Pertanyaan pamungkasnya adalah: “Kenapa semua orang menyukai transfer?” Mari kita lihat dari berbagai macam perspektif.

Pemain

Pertama dan yang paling utama, yaitu untuk pemain. Pemain dapat menggunakan alasan ini secara terus-menerus untuk menegosiasikan kesepakatan yang lebih baik, biasanya soal gaji. Jika tidak, mereka bisa saja melakukan manuver dari klub mereka.

Kenapa? Banyak alasan tentunya. Alasan yang paling klise, yang tidak banyak diakui tentunya, adalah masalah uang (gaji). Alasan lainnya bisa jadi karena mereka tidak cocok dengan pelatih, waktu bermain mereka yang sedikit, cuaca di kota tersebut tidak bersahabat, rindu kampung halaman, dan lain-lain.

Agen

Kemudian kita beralih ke agen. Agen cinta transfer. Karena itulah cara mereka menghasilkan sebagian besar pendapatan mereka.

Obsesi seorang agen dengan transfer adalah jika mereka bisa mendapatkan klien mereka, yaitu pemain, untuk terjual dengan nilai yang tinggi. Maka mereka akan mendapatkan persenan.

“Jika kita bisa menambahkan dua atau tiga pemain, klub kita pasti bisa lebih baik,” adalah bisikan godaan setan dari para agen kepada manajer dan pelatih klub.

Pihak lainnya di kesebelasan

Lalu berikutnya kita membicarakan para pemandu bakat (scout), direktur sepakbola, dan orang-orang misterius yang duduk di komite transfer.

Bagi mereka semua, tanpa kecuali, jendela transfer adalah surga. Ini terjadi karena transfer dan perpindahan pemain merupakan bagian dari jobdesc mereka.

Media

Transfer juga sangat bagus untuk media, tentu saja, karena memberikan kita sesuatu untuk dibicarakan. Seperti yang sudah disampaikan di awal artikel ini, transfer adalah pilar utama dari “sinetron” sepakbola modern.

Siapa konsumen atau penonton “acara gosip” sepakbola? Jawabannya tentu adalah fans. Siapa itu fans? Ya, saya, Anda, dia (tunjuk saja sembarang orang di sekitar Anda), kita semua adalah fans. Kita adalah konsumen “acara gosip”!

Suporter

Fans menyukai transfer karena transfer adalah cerita yang segar, karena transfer menawarkan harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja pada akhirnya nanti.

Kita semua suka untuk diberi harapan. Maka dari itu, sepertinya tidak ada alasan yang berbelit-belit bagi kita untuk tidak bertanya, “Klub saya jadi dapat pemain baru gak, ya?”

Pemilik kesebelasan

Jadi, siapa yang membenci transfer? Pemilik atau presiden kesebelasan, deh, bagaimana? Mereka tidak mau tentunya uang mereka habis untuk mendatangkan dan menggaji pemain dengan sembarangan. Tapi ternyata dugaan tersebut salah.

Transfer adalah “cinta terlarang” bagi pemilik kesebelasan. Transfer adalah cara untuk menghasilkan pendapatan dan menjadi aktivitas pemasaran utama mereka. Real Madrid misalnya, mereka tampak terobsesi dengan rekor transfer dunia karena mereka selalu ingin menjadi klub yang memiliki pemain paling mahal di dunia.

***

Transfer mungkin sudah menjadi sebuah pabrik yang mengambil uang dan juga pemain atas nama investasi. Transfer dan perpindahan pemain adalah hal yang mendasar bagi struktur sepakbola dunia. Akan sulit melihat sepakbola tanpa transfer, sesulit kita melihat televisi tanpa acara gosip (bisa ada pengecualian stasiun televisi, untuk sejauh ini). Eh.

Kamis, 10 September 2015

Refleksi September 1965


Ada seminar internasional mengenai peristiwa 1965 di Den Haag. Juga beredar di internet foto hitam-putih orang diikat tangannya ke belakang, diarak ramai-ramai, dengan teks berbunyi, "korban diarak sebelum dibunuh".

Generasi yang lahir pasca 1965 seperti saya, selama ini baik di surau maupun di sekolah menerima pemahaman mengenai peristiwa 1965 bahwa PKI akan: (a) mengganti Pancasila dengan ideologi Komunis, (b) menghapus dan melarang semua ajaran agama di bumi Indonesia, (c) mereka membunuhi para kiai. Dari sudut pandang ini, maka RPKAD dan laskar-laskar ormas lainnya dipandang sebagai penyelamat Pancasila dan eksistensi agama di Indonesia. Orang NU mengenang peran Banser dengan pendekatan heroik, demikian juga Muhammadiyah dengan Kokamnya, ormas-ormas nasionalis demikian juga.

Setelah Komunisme runtuh, era Perang Dingin berakhir, konstelasi global dan regional berubah, Orde Baru tumbang, mulai terbuka opsi-opsi melihat peristiwa 1965 lebih kritis. Foto tersebut di atas mendapat makna baru yang pada masa lalu nyaris tak terbayangkan: pembantaian oleh sekumpulan massa dengan cara keji dan tak berperikemanusiaan, dengan arahan penguasa, tanpa proses pengadilan. Terlihat di sini, dimensi ruang dan waktu berubah, konstelasi sosial politik berubah, berubah pula makna: siapa bad guy, siapa good guy?

Terbentuknya International People's Tribunal (IPT) 1965, disusul seminar internasional di Den Haag, itu antara lain contohnya. Pertanyaan, kelak IPT bisa saja mengembangkan menjadi dasar gugatan: mengapa pihak komunis yang kalah pada 1965 harus dibunuh dan kemudian anak keturunannya dimatikan hak-hak perdatanya? Bahkan di antara mereka ini ternyata juga tidak semua komunis, bagaimana pertanggung jawabannya dan siapa saja yang harus bertanggung jawab?

Kalau para penyelenggara negara kurang responsif, maka mereka yang merasa diperlakukan tidak adil itu secara alamiah akan terus mencari keadilan dengan caranya sendiri. Mengapa seminar tentang peristiwa 1965 itu harus di luar, di panggung internasional? Karena di dalam rumah sendiri panggung itu tidak tersedia, notabene dua dasawarsa setelah reformasi.

Memang, sejak tumbangnya rezim otoriter Orde Baru dan Indonesia memasuki era demokratisasi, hingga hari ini belum muncul tokoh politik nasional negarawan sekaliber Nelson Mandela yang berani mengambil pendekatan rekonsiliasi untuk segera membereskan residu peristiwa 1965.

Adalah hanya Presiden Gus Dur satu-satunya yang pernah mencoba memulai jalan menuju rekonsiliasi --jika boleh disebut demikian-- dengan menerbitkan Inpres No 1 Tahun 2000 mengenai permasalahan orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri dan terhalang pulang ke tanah air sejak terjadinya peristiwa G 30 S/PKI. Memaafkan, dimaafkan, kembali menjadi satu bangsa yang solid dan utuh, satu keluarga Indonesia. Saya ikut menjadi saksi sejarah bagaimana perwakilan mereka dikumpulkan di Den Haag, dan Menkum HAM Yusril Ihza Mahendra yang diutus oleh presiden menemui mereka. Tapi setelah Gus Dur jatuh, upaya itu ikut luruh.

Pada tingkat masyarakat sendiri tidak semua orang berani, atau sebaliknya enggan, untuk membicarakan isu 1965 ini. Tabu. Takut dicap pro-komunis atau anti-komunis. Juga ada sikap keras sama keras: pertanggung jawabkan dulu, enak saja rekonsiliasi; di pihak lain juga sikap anti pada semua yang dipersepsi sebagai komunis adalah harga mati. Bahwa para aktor utamanya sudah meninggal dunia dan komunisme sudah bangkrut, itu semua tidak masuk dalam lingkar kesadaran mereka.

Jelas isu 1965 belum lagi selesai. Bisa saja terus diabaikan, tapi kelak anak cucu kita yang akan terbebani dengan segala akibatnya. Ini pe-er besar dan penting, bahkan jauh lebih penting daripada sekadar paspor diplomatik, polisi parlemen, jam tangan Setya Novanto saat ketemu Donald Trump dan parfum yang diributkan itu.

Sabtu, 06 Juni 2015

Tentang Pemain Bertubuh Pendek


Jika sepakbola memang bukan perkara bola panjang atau bola pendek, maka sudah sepantasnya sepakbola juga tidak mempersoalkan tinggi atau pendeknya seorang pemain.

Agaknya, kata “pendek” sering dilekati dengan makna yang kurang baik. Misalnya, pada frase “umur pendek”. Kita tidak akan pernah mengucapkan “semoga pendek umur” kepada orang-orang kesayangan saat ia berulang tahun. Begitu pula pada frase “ingatan yang pendek”, yang sering diartikan sebagai kecenderungan untuk melupakan hal-hal yang seharusnya tetap diingat sampai kapanpun. Atau dalam frase “pendek akal”, yang berarti orang yang tidak mau mempertimbangkan baik dan buruknya suatu keputusan dengan sebaik-baiknya.

Dilihat dari makna denotasinya, kata “pendek” juga memberikan pandangan yang kurang baik. Postur badan tinggi tampaknya menjadi idaman banyak orang. Buktinya, yang beredar di pasaran adalah adalah obat atau metode peninggi badan dan bukan sebaliknya. Seumur hidup, rasanya saya juga belum pernah melihat lowongan pekerjaan dengan syarat tinggi badan kurang dari – katakanlah – 160 cm.

Sepakbola juga sering meributkan soal tinggi atau pendeknya seorang pesekbola. Kita bisa berdalih bahwa sepakbola tidak terlalu mempersoalkan tinggi badan. Namun rasanya dalih tadi lenyap seketika saat perkara “postur tubuh” dikambinghitamkan atas sebuah kekalahan. Barangkali maksudnya baik, untuk meyakinkan penikmat dan penyaksi sepakbola tanah air kalau tidak ada yang salah dengan kemampuan, teknik dan mental. Masalahnya cuma satu: kurang tinggi, badan kurang tegap. Dan kalau sudah menyangkut masalah ukuran fisik, siapa yang bisa disalahkan? Pelatih fisik kesebelasan? Orangtua yang melahirkan? Atau Tuhan yang menciptakan?

Membincang tinggi atau pendeknya seorang pesepakbola mirip dengan membicarakan hal yang tak pasti. Tak ada ukuran yang benar-benar mematok angka berapa sehingga pesepakbola dapat disebut berbadan tinggi ataupun pendek. Barangkali, satu-satunya ukuran yang bisa digunakan adalah riset-riset yang dilakukan oleh sejumlah lembaga seperti The International Centre for Sports Studies (CIES).

Hasil penelitian lembaga yang berafiliasi dengan University of Neuchatel di Swiss ini menjelaskan bahwa, jika dirata-ratakan, tinggi badan pesepakbola di 5 liga terbesar Eropa (Prancis, Jerman, Italia, Inggris dan Spanyol) pada musim 2013/2014 mencapai 181,98 cm. Jumlah ini menurun jika dibandingkan dengan musim 2010/2011 yang mencapai angka 182,11 cm dan 182,19 cm di musim 2011/2012.

Menjelang final Liga Champions beberapa jam ke depan, saya diingatkan tentang beberapa pesepakbola bertubuh pendek (jika pendek mengacu kepada hasil penelitian di atas) yang direncanakan ikut berlaga. Sebut saja Lionel Messi (170 cm), Xavi Hernandez (170 cm), Andres Iniesta (170 cm) ataupun Carlos Tevez (173 cm). Bentuk fisik yang agaknya juga bisa mengingatkan kita kepada pesepakbola-pesepakbola masa lampau seperti Diego Maradona (165 cm), Ariel Ortega (170 cm) ataupun Michael Owen (173 cm).

Jika badan yang tinggi menjadi salah satu tolak ukur kesempurnaan fisik, maka tak heran bila orang-orang bertubuh pendek sering dijadikan sebagai lelucon. Namun lewat keberadaan pesepakbola-pesepakbola bertubuh pendek, kecenderungan seperti ini ingin dihancurkan dengan perayaan kecil-kecilan dalam tulisan-tulisan berjudul seperti “10 Amazing Short Soccer Players” ataupun “Top 5 Short Footballers”.

Barangkali, asumsi orang-orang pendek yang identik dengan orang-orang menyedihkan ingin diganti dengan cerita tentang orang-orang pendek yang menjungkirbalikkan “ketidakberdayaan” tadi. Dengan keberadaan mereka, kita dihadapkan pada dongeng yang bercerita tentang bagaimana seorang penjaga gawang dengan tinggi 193 cm dikalahkan orang yang dalam dunia sepakbola bisa dikategorikan berbadan kerdil. Cerita-cerita yang sebenarnya tidak mempedulikan kemampuan bersepakbola, tetapi lebih kepada dongeng yang menyoal anatomi.

Namun, yang perlu digarisbawahi, apapun yang disublimasikan ke dalam sebuah dongeng, semuanya adalah kebohongan.

Maradona tidak menjebol gawang Peter Shilton dengan tubuh cebolnya. Selain dengan gol tangan Tuhan, ia mencetak gol dengan berlari sendirian membawa bola sejauh kira-kira 60 meter sambil melewati 5 orang pemain Inggris. Messi yang hanya lebih tinggi 5 cm dibandingkan Maradona juga tidak menjebol gawang Bayern karena tubuhnya tak sempurna jika dibandingkan dengan postur pemain lawan. Ia mengalahkan Manuel Neuer dengan sepakan keras dari luar kotak penalti dan aksi solo-run yang membikin Jerome Boateng terjungkal.

Seandainya Maradona ataupun Messi tidak bertubuh pendek, jika mereka berdua tetap berhasil mencetak gol seperti tadi berikut rekor-rekor lainnya, nama mereka tetap akan ada di daftar pesepakbola kelas atas. Dan sebaliknya, jika Xavi terlalu terpaku kepada tubuh besar lawan-lawannya sehingga tidak pernah bisa menyajikan umpan-umpan brilian kepada para penyerang agaknya sependek apapun ia, para penggila Barcelona tidak akan bersusah-susah mempersembahkan koreo pada pertandingan perpisahannya.

Sepakbola memang sering dijadikan sebagai dongeng tentang berbagai kemustahilan. Tentang orang-orang yang tadinya diremehkan namun sanggup mengalahkan mereka yang kerap dijagokan. Namun, jika sepakbola juga bercerita tentang kemenangan dan kekalahan, maka seorang pesepakbola tidak pernah kalah karena tinggi badan dan tidak pernah menang karena postur tubuh.

Senin, 06 April 2015

UU Pilkada dan Politik Dinasti


Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang, 18 Maret lalu, hampir semua partai politik pada umumnya dan para bakal calon kepala daerah sudah berancang-ancang.

Yang paling terasa adalah bagaimana menyiasati persyaratan "politik dinasti", sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Huruf r yang menyatakan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota) dengan penjelasan, yaitu yang memiliki ikatan perkawinan dan darah lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping. Yang termasuk dalam persyaratan tersebut adalah suami/ istri, orangtua, mertua, paman, bibi, anak, menantu, adik, kakak, dan ipar kecuali jeda satu periode (lima tahun).

Reaksi yang pertama adalah dengan mengajukan uji materi atas ketentuan Pasal 7 Huruf r tersebut ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai membatasi hak politik seseorang untuk menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota, dan melanggar konstitusi terutama Pasal 28D Ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Cara ini dinilai konstitusional karena memang secara yuridis normatif, mekanisme uji materi adalah saluran paling konstitusional untuk menguji ketentuan dalam undang-undang yang sudah tercantum dalam lembaran negara. Proses berikutnya tentu Mahkamah Konstitusi akan menguji apakah ketentuan tersebut, yakni Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015, yang menyatakan bahwa "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" disertai penjelasannya.

Selanjutnya, dengan ketentuan tersebut juga akan muncul beberapa kondisi (jika tetap berlaku atau tetap dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi) bagaimana kiranya jika para petahana, baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang masih menjabat, mundur sebelum masa jabatannya berakhir sehingga kerabatnya bisa mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah pada pilkada serentak tahun 2015 ini?

Atau bagaimana jika kepala daerah petahana yang saat ini berstatus sebagai terpidana dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) dan sisa masa jabatannya sekitar dua tahun lagi, lalu kerabatnya, misal anaknya, akan maju dalam pilkada mendatang? Masih banyak lagi kondisi lainnya yang bisa dimanfaatkan para pihak yang berkepentingan sebagai celah untuk bisa mengajukan para kerabat, termasuk jika kerabat kepala daerah akan maju menjadi wakil kepala daerah.

Berbagai kondisi di atas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi yuridis formal (ketentuan normatif dalam undang-undang) yang memang tidak bisa mengatur secara detail berbagai kondisi di atas serta sisi kepantasan politik, yakni pertimbangan berdasarkan etika dengan melihat pengalaman selama ini yang terjadi di beberapa daerah dengan munculnya fenomena politik dinasti yang dinilai "mengurangi makna demokrasi" serta menjadi kritik masyarakat sekaligus mengusik nilai-nilai demokrasi universal yang mengedepankan asas keadilan dan kesetaraan bagi semua warga negara untuk menjadi calon kepala daerah melalui pemilihan secara langsung.

Dalam konteks membangun demokrasi yang substansial, seharusnya kita harus mengedepankan pertimbangan etika dan kepantasan politik ketimbang mencari celah atas norma undang-undang yang tidak bisa mengatur secara rinci dan akan tetap memiliki celah untuk disiasati. Padahal, kita semua tahu bahwa adanya pengaturan dalam Pasal 7 Huruf r dalam rangka memperbaiki praktik yang berlangsung selama ini. UU Pilkada sejatinya dalam rangka memperbaiki demokrasi lokal yang selama ini memiliki kekurangan, terutama dalam hal munculnya fenomena politik dinasti di sejumlah daerah.

Untuk kita ketahui, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik dinasti lebih identik dengan kerajaan sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak atau kerabatnya sesuai tata cara yang diatur dalam kerajaan tersebut agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.

Secara umum, setiap orang berhak menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang juga ditegaskan dalam persyaratan Pasal 7 dengan pernyataan, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: .", artinya warga negara tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan undang-undang.

Berbagai persyaratan tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan calon pemimpin daerah yang memiliki kemampuan serta menguasai ilmu dan seni memimpin, terutama bagaimana menyusun pola kegiatan yang efektif, menerapkan pola kekuasaan yang tepat dari sisi waktu dan tindakan serta lingkungan, memiliki pola kepemimpinan yang dapat menggerakkan bawahan dan masyarakat sehingga mencapai tujuan organisasi dan peningkatan kehidupan masyarakat (Kaloh, 2009: 7).

Patrimonialistik

Dalam praktik penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sejak tahun 2005, muncul satu fenomena hadirnya politik dinasti, yaitu adanya kesinambungan pemerintahan dari lingkaran satu keluarga baik orangtua-anak, suami-istri, kakak-adik, dan lain-lain, bahkan untuk satu wilayah provinsi dengan melihat fenomena bupati/wali kota memiliki hubungan kekerabatan dengan gubernur. Tidak semua fenomena ini menghadirkan praktik yang jelek karena adanya kemajuan dan kesinambungan pembangunan di daerahnya. Namun, tidak sedikit justru menimbulkan persoalan baru karena adanya hegemoni atas berbagai sumber kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial di masyarakat.

Fenomena inilah yang kemudian menjadi kritik masyarakat atas berbagai fakta di lapangan yang mengarah pada terciptanya sebuah dinasti politik di daerah. Caranya, dengan melanggengkan kekuasaan keluarga melalui keikutsertaannya dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

Meskipun cara seperti itu tidak dapat disalahkan, baik secara aturan (sebelum UU No 8/2015 lahir) maupun secara proses demokrasi, faktanya persoalan politik dinasti tersebut telah mencederai prinsip demokrasi itu sendiri. Ari Dwipayana pernah menyatakan bahwa tren politik kekerabatan atau politik dinasti itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.

Menurut dia, kini disebut neopatrimonial karena ada unsur patrimonial lama, tetapi dengan strategi baru. Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural. Dengan kondisi tersebut, harus menjadi perhatian semua bahwa meskipun aturan dibuat seketat apa pun tetap berpotensi untuk diabaikan melalui cara-cara atau siasat yang dianggap tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.

Salah satu alasan mengapa ketentuan itu lahir yang dibahas pada saat DPR dan pemerintah membahas RUU Pilkada periode 2009-2014 (serta tercantum dalam Perppu No 1/2014) yang merupakan RUU usul pemerintah adalah karena adanya dampak atas berlangsungnya apa yang disebut politik dinasti tersebut. Di daerah yang berlangsung politik dinasti tersebut, terlihat adanya politik hegemoni di kalangan keluarga saja meskipun terkadang sang pengganti, baik anak maupun istri, tidak memiliki kemampuan yang sama dalam hal kepemimpinan.

Akhirnya, sang pengganti, baik anak maupun istri, melaksanakan pemerintahan atas "kendali" sang ayah atau suami. Kondisi seperti ini kerap kali memunculkan situasi tidak kondusif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah tersebut karena dikelola tidak berdasarkan kaidah pemerintahan yang baik. Padahal, seorang pemimpin termasuk di daerah merupakan pengendali roda organisasi pemerintahan di daerah yang berujung pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dengan kekuasaan yang melekat dalam dirinya.

Ke depan, setelah diundangkannya UU No 8/2015, diharapkan praktik politik dinasti yang menghasilkan dampak buruk akan hilang dan diganti dengan sistem yang mampu menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas. Selain itu, undang-undang ini tidak menutup secara keseluruhan bagi kerabat petahana, tetapi diberikan jeda satu periode pemerintahan. Pada periode berikutnya, yang bersangkutan boleh ikut dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.